Prostitusi dan Pornografi

Pengertian Prostitusi
Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere atau pro sature yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan, pergendakan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tuna susila. Tuna susila atau tidak susila diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksual dalam bentuk
penyerahan diri pada banyak lelaki untuk pemuasan seksual dan mendapat imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga bisa diartikan sebagai salah tingkah, tidak asusila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila. Pelacuran selalu ada dalam setiap negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.

Di zaman modern saat ini bentuk-bentuk pelacuran yang sedang marak adalah pelacuran ABG (anak baru gede) dan anak-anak. Ribuan perempuan muda dan anak diperdagangkan dan dipaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) yang umumnya masih anak-anak. Survei UNICEF di beberapa negara Asia Tenggara menemukan eksploitasi seksual dan perdagangan anak bersifat menguntungkan, terorganisir, lintas negara dan sangat berkaitan dengan kegiatan kriminal dan korupsi. Gadis-gadis itu mula-mula dijebak secara licik atau dirayu dan dijanjikan bekerja di kota-kota besar dengan gaji tinggi dan seperti bekerja di restoran atau pekerjaan-pekerjaan halal lainnya. namun pada kenyataannya mereka kemudian disekap dan dipaksa untuk dijadikan pelacur. Anak-anak yang dilacurkan dimanapun berada baik yang berada di lokalisasi maupun maupun non lokalisasi acapkali menerima perlakukan yang tidak wajar. Perlakuan tidak wajar tersebut pada umumnya diberikan oleh orang dewasa. Hal ini terjadi akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagai objek. Perlakuan yang tidak wajar tersebut biasanya terjadi dalam bentuk kekerasan maupun pelecehan seksual. Hal ini merupakan tindak pidana serius dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran:
1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan.
2. Komersialisasi dari seks, baik dari pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi seks dijadikan alat yang jamak-guna (multi purpose) untuk tujuan komersialisasi di luar perkawinan.
3. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang-orang mengenyam kesejahteraan hidup; dan ada pemutar balikan nilai-nilai pernikahan sejati.
4. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini khususnya mengeksploitir kaum lemah/wanita dan anak-anak untuk tujuan-tujuan komersil.
Motif-motif yang melatarbelakangi pelacuran:
1. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian kecebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan bandit-bandit seks.
2. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan; ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya; khususnya dalam mendapat status sosial yang lebih baik.
3. Kompensasi terhadap perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negatif; terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan melebihi kakak, ibu sendiri, teman puteri, tante-tante atau wanita mondain lannya.
4. Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo; terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi. Misalnya sebagai pelayan toko, bintang film, peragawati dan lain-lain. Namun pada akhirnya, gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam bordil-bordil dan rumah-rumah pelacuran.
5. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu ke dalam dunia pelacuran.
Banyak masalah yang timbul pada anak-anak yang dilacurkan tersebut. Umumnya korban kekerasan seksual terhadap anak yang dilacurkan tidak hanya trauma fisik, namun terutama sekali akan menderita stres mental yang amat berat bahkan seumur hidup, yaitu apa yang dinamakan stres pasca trauma, sebab pada dasarnya kekerasan seksual itu lebih merupakan trauma psikis daripada trauma fisik. Bila dikaitkan dengan anak-anak yang dilacurkan maka penyebab kekerasan adalah status sosial, sistem kerja yang unik yang tidak tergantung pada ketentuan umum tetapi tergantung pada germo dan perilaku pelanggan yang tidak waras. Bahkan dikarenakan mereka termasuk jenis kerja yang tidak diakui pemerintah, maka segala kekerasan yang mereka alami sebagai konsekuensi dari hasil yang mereka lakukan. Selain trauma psikis sebagai dampak kekerasan seksual, juga peluang tertularnya HIV/AIDS sangat besar bagi anak-anak yang dilacurkan. Mereka umumnya kurang paham akan arti pentingnya seks sehat. Para pelanggan pun merasa yakin si anak adalah suci dari berbagai penyakit dan tidak merasa penting untuk menggunakan kondom. Padahal peluang tertularnya HIV/AIDS terhadap anak-anak yang dilacurkan cukup besar, hal ini disebabkan mereka berada dalam posisi yang lemah, dan pasrah menerima keadaan yang tidak memihak ini. Suatu bangsa yang besar dibangun oleh generasi mudanya yang inovatif dan kreatif. Namun hal ini tidak akan terwujud bila generasi yang seharusnya berkembang dan belajar justru menjadi korban perbudakan modern.
Pengertian Pornografi
Secara etimologi, pornografi berarti suatu tulisan yang berkaitan dengan masalah-masalah pelacuran dan tulisan itu kebanyakan berbentuk fiksi (cerita rekaan) yang materinya diambil dari fantasi seksual, pornografi biasanya tidak memiliki plot dan karakter, tetapi memiliki uraian yang terperinci mengenai aktivitas seksual, bahkan sering dengan cara berkepanjangan dan kadang-kadang sangat menantang.
Dalam kamus Besat Bahasa Indonesia, Pornografi artinya :
1) Pengambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
2) Bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.
Peranan Pancasila Terhadap Pornografi
Pancasila itu bersifat Normatis atau ukuran bagi masyarakat Indonesia. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai pancasila sudah terangkum di dalam pembukaan UUD 1945. seperti pada pokok pikiran alenia 4 pembukaan UUD 1945 yaitu Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini merupakan dasar moral negara dan merupakan penjabaran dari sila pertama pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pembenahan moral, pembinaan mental, pendalaman agama adalah salah satu tindakan untuk memerangi pornografi dan pornoaksi. Termasuk mengamalkan sila-sila pancasila. Kepatuhan terhadap ajaran agama yang kita yakini masing-masing, itu merupakan tindakan yang dapat memerangi pornografi dan pornoaksi, karena setiap agama mengajarkan kebaikan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih utk referensinyaa

Posting Komentar